Berdasarkan jalannya diskusi setelah pemutaran film oleh SIpAL (Sociedad Indonesia para America Latina) 29 April 2013.
Durasi film Amores perros ini cukup lama, yaitu 154 menit atau sekitar 2,5 jam, ditambah lagi alur cerita film ini yang sangat khas Amerika Latin, alias (biasanya) berjalan cukup lama, lambat atau tidak terburu-buru.
Ada banyak hal yang dibahas dalam diskusi film Amores perros kali ini. Pertama pembicara membuka diskusi dengan secara singkat menceritakan kembali filmnya, bagaimana film ini menggambarkan kekerasan dengan gamblang, bagaimana keadaan Mexico awal tahun 2000an sangat mempengaruhi latar belakang film, kemudian bertanya pada peserta dari ketiga plot cerita (yang saling berkaitan) yang diceritakan dalam film, plot cerita mana yang paling disukai. Banyak peserta diskusi yang menjawab bahwa plot ketiga, yaitu plot cerita berjudul El Chivo y Maru, yang menceritakan tentang seorang pria tua bernama El Chivo. Sekilas pandang El Chivo hidup seperti seorang gelandangan bersama anjing-anjingnya, tetapi sebenarnya El Chivo dalah seorang pembunuh bayaran yang profesional dan merupakan mantan anggota pemberontakan gerilya.
Kemudian pembicara membawa arah diskusi untuk mengeksplor plot El Chivo y Maru ini. Pertama, bahwa bagaimana penampilan seseorang dapat begitu menipu dan menentukan pandangan orang lain atau masyarakat. Melihat El Chivo sekali pandang, peserta diskusi tidak ada yang mengira bahwa ia lebih dari seorang gelandangan, bahwa ia seorang pembunuh bayaran, bahwa ia punya otak dan punya hati serta masa lalu yang kelam. Pembicara menambahkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita, stereotype, labelling, stigma begitu kental. Contohnya dengan hidup di Yogyakarta, pembicara sangat merasakan bagaimana ia dilabelling sebagai orang Bali (diikuti oleh stereotype negatifnya) dan bagaimana orang Indonesia dari bagian timur, yang banyak menimba ilmu di Yogyakarta, harus menerima labelling dan stereotype negatif dari masyarakat. Misalnya stereotype bahwa orang Indonesia dari timur suka ribut dan suka minum (intinya preman) sampai-sampai ada beberapa tempat yang menolak kehadiran mereka.
Menggelikan. Menurut saya, fakta bahwa banyak dari antara kita menyebut โorang Indonesia timurโ sendiri adalah sebuah diskriminasi (terlepas dari fakta bahwa secara geografis hal ini memang benar adanya); ada kesan bahwa mereka dianggap berbeda dan bukan bagian dari Indonesia selayaknya yang lain. Saya dari Batam dan orang tidak pernah menyebut saya orang Indonesia dari barat, begitu juga halnya dengan teman-teman yang bersuku Aceh, Batak, Minang atau yang berasal dari Indonesia bagian barat lainnya. Begitu juga dengan orang Jawa, mereka tidak pernah disebut sebagai orang Indonesia dari barat atau tengah dalam komunikasi sehari-hari.
Berkaitan juga dengan cerita El Chivo ini adalah tentang idealisme. Ia dulunya adalah seorang suami dan ayah dari sebuah keluarga yang bahagia. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan pemberontakan gerilya, dengan alasan ia ingin menciptakan dunia yang lebih baik bagi keluarganya. Tapi pemberontakannya gagal dan El Chivo harus menerima kenyataan bahwa ia terpisah dari anak perempuannya yang sudah tumbuh dewasa. Ia banting setir dengan hidup seperti gelandangan dan menjadi pembunuh bayaran profesional yang bekerja untuk atau dengan orang-orang berkerah putih (yang dulu ia lawan dalam pemberontakan gerilyanya). Terkadang dalam kondisi-kondisi tertentu, idealisme dapat menjadi bumerang dan menghancurkan diri sendiri dan orang lain.
Salah satu adegan penting juga yang terdapat dalam plot cerita El Chivo y Maru adalah ketika El Chivo menemukan semua anjing di rumahnya mati dibunuh oleh Cofi, anjing hitam yang dulu ia rawat dan selamatkan dari luka tembak. El Chivo sangat sedih karena anjing-anjing tersebut adalah teman hidupnya. Setelah ia membakar bangkai anjing-anjingnya, ia menempelkan moncong pistol di dahi Cofi dan siap menarik pelatuk. Tapi ia tidak bisa, ia terlalu sayang. Inilah salah satu bukti yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia punya otak dan hati, hewan tidak.
Ketiga plot cerita film ini, selain diikat oleh adegan tabrakan mobil, lebih dari itu juga diikat oleh kesamaan bahwa semua tokoh di dalamnya menunjukkan rasa begitu sayang pada anjing. Pertama, Octavio pada anjingnya Cofi, yang jago diadu dengan anjing lain; kedua, Valeria, seorang supermodel Spanyol, pada anjingnya Richie dan ketiga, El Chivo pada segerombolan anjingnya dan Cofi. Rasa sayang yang ditunjukkan pun berbeda-beda. Octavio walaupun sayang pada anjingnya, rela menjadikan anjingnya untuk diadu demi mendapatkan uang, Valeria justru seakan-akan lebih sayang pada Richie dari pada pada Daniel, pasangannya yang telah meninggalkan keluarganya untuk hidup dengan Valeria dan El Chivo menunjukkan rasa sayangnya dengan menyelamatkan Cofi dari luka tembak dan tetap memeliharanya walaupun Cofi sudah membunuh semua anjing yang ia miliki dan ia sayangi. Rasa sayang pada anjing ini seolah-olah, tanpa disadari, menggerakan keseluruhan cerita.
Judul film Amores perros atau Loveโs a Bitch pun menjadi tidak sesamar-samar sebelumnya. Cinta adalah seekor anjing betina! Ha. Judul yang sangat menggelitik dan menarik untuk digali terus lebih dalam, maknanya bisa ganda, bisa macam-macam.